Jumat, 21 Oktober 2016

Resensi Novel Padang Ilalang di Belakang Rumah karya NH.Dini

Hasil gambar untuk novel nh.dini padang ilalang di belakang rumah
Sumber: 
A. Identitas Buku
Judul               : Padang Ilalang di Belakang Rumah
Pengarang       : NH. Dini
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama

2.      Kepengarangan
NH. Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah tamat SMA bagian sastra (1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut Ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang. Karya-karya NH. Dini, yaitu  Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris ( 1982), Segi dan Garis (1983), Orang – orang Trans (1984). Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Gamus, La Peste; 1985).
3.      Sinopsis Novel Padang Ilalang di Belakang Rumah
Nama saya Dini. Saya merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Kakak-kakak saya bernama Heratih, Nugroho, dan Maryam, dan yang terakhir bernama Teguh. Selain itu, kami juga memiliki  pembantu yang bernama Simbok yang sudah dianggap keluarga sendiri. Dia datang dari desa dibawa nenek pada saat ibu dan ayah menikah. Anak Simbok adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai penjaga balai pertemuan tempat ayah Dini menjadi anggota. Namanya Marjo, isterinya Saijem. Kami biasa memanggil Kang Marjo dan Yu Saijem. Selain Simbok, pembantu yang juga tinggal di rumah kami adalah seorang wanita muda dengan anak perempuannya, sebayaku. Suami perempuan itu menghilang tak tahu kemana. Ayah terpaksa menyetujui, meskipun berarti pengeluaran tambahan biaya lagi guna sekolah anak pembantu itu. Saat penjajahan Jepang, Dini masih duduk di bangku SD. Rumah orang tuaku  cukup luas di bagian depan dan belakang rumah. Pada masa itu, keluarga kami mengalami kemunduran Oleh karena itu, orang tuaku harus bekerja lebih keras untuk menghidupi keluarganya. Ibuku mulai membuat kue dan membatik. Halaman belakang rumah digunakan untuk membuat kue dan membatik. Heratih yang pandai memasak dan membatik, menyanggupi akan memberikan bantuan. Tak seorang pun di antara kami dapat menahan tantangan untuk menenggelamkan jari telunjuk ke wadah adonan yang begitu mengundang dan lalu menjilatnya. Kebiasaan Nugroho yaitu pada saat-saat ibu atau Heratih memalingkan muka, dengan sekali pungut, diambilnya makanan yang belum matang, cepat-cepat dimasukkan ke dalam mulut. Sedangkan Teguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering tersebut, memasukkannya ke kaleng. Ketika Ibu atau Heratih tidak melihat, dari lima buah kue ditangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras. Maryam dan aku sendiri boleh dikatakan tidak mengganggu. Kami membantu seperlunya, dan mencuri adonan sebisanya pula. Maryam dapat mengerjakan semua dengan baik.
Di kampung kami, sering lewat seorang laki-laki setengah umur bersarung dan berbaju rapi, yang membawa sebuah kurungan kecil berisi burung gelatik. Dia adalah peramal dengan kartu. Pada suatu hari ibu memanggilnya. Aku tidak tahu dari siapa datangnya gagasan tersebut. barangkali seperti kebanyakan wanita, dia terdorong oleh keinginan tahu akan hal-hal yang belum tentu, serba misteri, mencoba kekuatan gaib yang tidak dapat diterangkan oleh akal. Orang itu membaca kartu mengenai nasib Nugroho. Laki-laki setengah umur itu mengambil kartu tersebut, lalu diperlihatkannya kepada Ibu. “Lambangnya adalah seekor banteng,” katanya memulai ramalannya. Di antara kartu-kartu itu, kulihat sebuah gambar pohon beringin, dengan seekor banteng yang terjepit di antara dahan di bawah.
Sore itu bibi datang bersama anaknya yang pertama, Edi Sedyawati. Teguh mendapat tugas memetik buah blimbing. Di sepen masih ada buah mangga gurih, sisa petikan dari hari-hari sebelumnya. Kedondong tidak ada, musimnya baru mulai. Buahnya masih kecil-kecil, lagi pula pohonnya besar dan tinggi. Hanya bapak atau Nugroho yang bisa memanjat hingga jauh ke atas.  Ibu sudah mengetahui kebiasaan iparnya. Begitu datang, pembantu segera disuruh membuat sambal rujak. Bibi sendiri telah berdiri di pendapa mengawasi Teguh memanjat pohon blimbing. Ternyata pada saat turun, Nugroho terjepit di tengah dahan pohon blimbing. Kami mengira bahwa ia hanya main-main. Tapi ternyata tidak. Akhirnya ayah menolongnya dengan cara dipotong sedikit dahan blimbing tersebut agar Nugroho dapat keluar. Sejak saat itu, Nugroho mendapat julukan “ banteng terjepit”.
Aku tidak pernah tidak naik kelas. Ketika masa kesadaran semakin tumbuh, aku mulai mengerti sekelilingku dengan lebih baik. Pada waktu itu aku diberi tahu, bahwa bicaraku lain dari kebanyakan orang disebabkan karena ucapan “er” yang terputus getarannya. Ibulah yang mengatakannya kepadaku.”kalau ada teman-temanmu di sekolah yang mengejek atau memperolok-olok engkau, jangan malu. Kau boleh marah, itu hal yang biasa. Karena kalau kau tidak marah, berarti kau tidak mempunyai rasa harga diri.” Tapi di sekolah, hingga waktu itu tak seorang pun yang mengejek atau memperolok-olokkanku. Ibu berkata “selama kau terkemuka dalam hidup ini, ditambah dengan sikapmu sendiri yang sopan, ramah dan sederhana, orang lain akan menghormati dan menyayangimu.
Pertama kali Edi kami undang menonton wayang, dia kelihatan tidak mengerti apa-apa. Barangkali masih terlalu kecil, di Jawa Timur dia tidak pernah dibawa mengunjungi pertunjukkan semacam itu. Atau barangkali pula karena paman dan bibi tidak “sempat” berpikir bahwa itu termasuk salah satu unsur pendidikan kebudayaan. Atau entah ada lagi sebab-sebab lain yang menurut ayah tidak bisa kami terka. Berlainan dengan kami. Paling sedikit, sekali sebulan orang tua membawa kami menonton wayang. Kadang-kadang, sewaktu ada kunjungan kerabat dari kota lain, merekalah yang membeli karcis. Di samping itu, pada waktu-waktu yang tidak tertentu, kami pergi menyaksikan pertunjukkan wayang kulit. Seringkali di kampung-kampung tetangga ada orang yang menanggapnya. Kalau tidak terlalu jauh, ayah menemani kami, beramai-ramai bersepeda ke sana. Kadang-kadang pula, kerabat atau kenalanlah yang menanggap wayang tersebut. Dalam hal itu, kami menerima undangan, menonton semalam suntuk, karena mendapat tempat duduk yang semestinya. Setelah dua kali melihat wayang orang, Edi menjadi penggemar yang tekun.
Bibi telah melahirkan. Selama dia berada di rumah sakit, aku menemani Edi tinggal di Pendrikan. Kakak perempuan bibi datang dari Malang untuk mengurus rumah tangga. Aku tidak menyukainya. Dia keras sekali. Tak satu pun permainan anak-anak yang diizinkannya. Ini kotor, itu berbahaya. Bicaranya bahasa Jawa yang terputus-putus, banyak diselingi oleh kata-kata Belanda. Dia belum kawin. Kata Maryam, barangkali sebab itulah dia bersifat begitu kaku. Aku tak begitu mengerti, tapi menyetujuinya. Setiap pagi aku harus menyuapi Edi, karena dia makan lambat sekali. Aku menyukai sepupuku. Tapi dalam hal makan, aku membencinya. Karena dia menambah pekerjaanku. Sekolahnya dekat. Sedangkan sekolahku lebih jauh. Aku harus bergegas agar bisa sampai di sana sebelum lonceng pertama berbunyi. Pulang siang, perutku sedih karena lapar. Tapi sampai di rumah, sejak bibi melahirkan, kami mesti menunggu hingga jam dua untuk makan bersama paman. Aku merana, bagaikan seorang anak tiri. Edi kurang merasakan kelaparan itu, karena sekolahnya di Taman Kanak-kanak hanya sampai jam sepuluh. Sejak tinggal di rumah sepupuku, aku jadi mengerti dengan baik apa arti kelaparan. Pulang dari sekolah, aku berjalan sambil mencari buah-buah asam yang jatuh dari pohon di sepanjang jalan yang kulalui. Satu atau dua buah asam masak yang bisa kutemukan merupakan hadiah yang luar biasa bagiku. Ketika bibi pulang dari klinik, kami merasa seperti terlepas dari nasib buruk. Dia membawa sepupu kedua, seorang bayi perempuan yang mendapat nama Suci Astutiwati. Tetapi selanjutnya, kami memanggilnya Asti. Waktu itu dia tidak berbeda dari bayi lain yang pernah kulihat. Kecil mungil, terbungkus oleh pakaian yang bagiku terlalu seragam: selalu popok dan baju. Semua bayi yang kukenal berpakaian sama, sehingga tak ada yang membedakab yang satu dari lainnya.
Aku dapat tinggal kembali bersama orang tuaku. Rumah kami yang lindung, betapapun buruk dan tuanya, lebih ramah dan akrab daripada gedung besar kediaman sepupuku. Kebun kami yang tidak teratur, merupakan kawan yang setia dan dermawan, memberi berbagai buah segar, menerima kami bermain di bawah naungan pohon-pohonnya yang penuh ranting dan daunan. Aku juga menemukan kembali si jalak, kucing-kucingku, itik dan ayam yang ribut yang justru menggambarkan suasana keluarga dan rumah tangga. Dan tentu saja, padang ilalang yang meminggiri kali di belakang rumah kami.
Hari itu aku mengetahui bahwa kakakku yang sulung mempunyai pacar. Berita yang kukira istimewa itu kukabarkan kepada Maryam. Dengan tersenyum-senyum kakakku menjawab bahwa dia telah lama mengetahuinya. Bakal ipar kami bernama Utono, mengepalai kantor telepon di Kendal.  Dia bersama orang tuanya telah datang ke rumah kami untuk melamar. Beberapa waktu lagi kami akan ke Gajah, di dekat Demak, untuk merayakan pertunangan mereka. Utono bisa memikat hati adik-adik tunangannya. Terutama hatiku. Seakan-akan ia mengerti hawa alam merupakan kecintaanku. Kedua orang kakak perempuanku dan ibu banyak membantu pekerjaan. Kakak sulungku perlu menunjukkan kepada bakal mertuanya bahwa dia cekatan mengerjakan urusan rumah tangga. Kakak-kakakku lelaki menghilang, diajak oleh adik-adik bakal ipar kami. Utono menggunakan waktunya buat berkenalan lebih baik dengan aku. Upacara pertunangan tidak begitu mengesankan di hatiku. Kami anak-anak terdorong ke sana kemari. Ibu dan ayah terlalu sibuk, tidak memikirkan aku. Maryam demikian pula, turut melayani tamu bersama adik Utono dan gadis-gadis sebayanya. Setelah lewat pertunangannya, Utono sering datang ke rumah kami. Menurut cerita kakakku di kemudian hari, Ibu amat keras dan kolot dalam mendidik anak-anak perempuan. Heratih baru saja berkenalan dengan Utono. Kedua orang muda itu merasa saling cocok. Utono datang berkunjung, dan oleh kakakku diperkenalkan kepada orang tua kami.
Pulang dari sekolah, aku singgah di rumah sepupukku. Asti sudah kelihatan senyumannya. Edi lebih mudah mengenali huruf-huruf. Bibi telah pulih kekuatannya, meskipun selalu pucat. Dan kakaknya telah pulang ke Malang. Aku diberi kesempatan menggendong dan momong Asti. Pada waktu-waktu tertentu, menolong memberikan botol susu kepadanya. Bersama Edi, kami berdua bermain kanak-kanakan, tetapi kali itu mempergunakan bayi sungguh-sungguh. Bergantian kami mencicipi susunya, mencoba buburnya. Pada waktu bibi berada di kamar lain, kami mencuri mengangkat bayi yang sedang tidur di ranjangnya, kami gendong bergantian. Lalu cepat-cepat kami kembalikan. Kadang-kadang dia terus tidur, tetapi ada kalanya terbangun. Dalam hal itu,  dia tersenyum-senyum sambil menyuarakan ocehan yang bisa keluar dari mulutnya. Kami berdua bahagia oleh karenanya. Dia tidak menangis, sebab itu kami berkesimpulan bahwa Asti suka pada kami.
                             Saat terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh anak bangsa, suasana jadi menakutkan karena Jepang sering sekali melakukan tembakan – tembakan. Banyak mayat yang tergeletak di jalan – jalan, semua warga harus mematikan lampu pada malam hari dan harus menyerahkan harta benda kepada Jepang. Orang tua Dini melarang anak – anaknya untuk keluar rumah karena suasana pada saat itu sangat menakutkan. Hanya ayahnya bersama dengan warga – warga yang lain yang keluar dan memberi informasi yang terjadi kepada keluarga yang ada di rumah. Setelah beberapa hari, keadan mulai tenang kembali dan ada kabar yang sangat menggembirakan yaitu Indonesia telah merdeka


1.      Unsur Intrinsik :
1. Tema
Tentang perjuangan sebuah keluarga di tengah susahnya ekonomi pada saat penjajahan.
              2. Penokohan:
Dini                 : Gadis yang ceria, penurut dan cerdas. Watak Dini terdapat pada kutipan “Aku tidak pernah tidak naik kelas”.
Nugroho          : Patuh terhadap orang tua, terkadang jahil tetapi baik. Watak Nugroho terdapat pada kutipan “Ketika pada saat Ibu atau Heratih memalingkan muka, diambilnya makanan yang belum matang, cepat-cepat  dimasukkan ke dalam mulut.
Ayah               : Bijaksana, bertanggung jawab, suka menolong, tidak pernah putus asa dan rela berkorban. Watak ayah terdapat di kutipan “Memang, Bapak selalu mempunyai gagasan yang lain daripada yang lain”.
Ibu                  : Baik hati, penyayang, bijaksana dan pemurah. Watak ibi terdapat pada kutipan “Begitu bibi datang,pembantu segera disuruh membuat sambal rujak”
Heratih            : Baik , suka menolong. Watak Heratih terdapat pada kutipan “Heratih duduk di atas amben mencampur adonan di dalam sebuah wadah besar dengan kedua tangannya”
Teguh              : Jahil, lincah, sedikit nakal dan terkadang jahil. Watak Teguh terdapat pada kutipan “Kalau Ibu atau Heratih tidak melihat,  dari lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras, sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya.”
Maryam           : Penurut dan baik. Watak Maryam terdapat pada kutipan “ Maryam dan aku sendiri boleh dikatakan tidak mengganggu”
Edi                  : lucu, ceria dan pintar. Watak Edi terdapat pada kutipan “Bergantian kami menjadi tokoh  yang kami jelmakan, lengkap dengan suara gamelan dari mulut”
3.Latar
Latar tempat      : Kamar, belakang rumah, halaman rumah,
Latar suasana    : Keceriaan, kesedihan, ketakutan.
Latar waktu       : Pagi, siang, dan malam
4. Alur
        Alur yang di gunakan dalam cerita ini adalah alur maju. Karena, dalam cerita memperkenalan tokoh-tokoh dalam cerita kemudian di lanjutkan dengan masalah-masalah yang mulai muncul.
5.Sudut Pandang
Sudut pandang orang pertama pelaku utama.
6. Amanat
Amanat dari novel ini yaitu “selama kau terkemuka dalam hidup ini, ditambah dengan sikapmu sendiri yang sopan, ramah dan sederhana, orang lain akan menghormati dan menyayangimu.”
2.      Unsur Ekstrinsik:
Nilai Moral          : Dini diajarkan orang tuanya untuk rendah hati. Terdapat pada kutipan “kalau ada kawan-kawanmu di sekolah mengejek atau memperlok-olok engkau, jangan malu. Kau boleh marah, itu hal yang biasa. Karena kalau kau tidak marah, berarti kau tidak mempunyai rasa harga diri.”
Nilai Sosial          : Ketika Jepang masuk ke rumah Dini dan ayah berusaha untuk mengusir mereka. Terdapat pada kutipan “Tapi bapak tidak menyahut, ia masuk ke sepen, cepat keluar sambil memegang sesuatu di tangannya.”
Nilai Budaya     : Semangat dalam membela tanah air. Terdapat pada kutipan “ Kalau aku sudah jadi pemuda, aku juga mau bertempur.”
Nilai Agama      : Suasana ketika bedug mahgrib berbunyi . Terdapat pada kutipan “  Ketika bedug berbunyi, ayah dan paman kembali.”
3.      Kelemahan dan Kelebihan
Kelebihan dari novel Padang Ilalang di Belakang Rumah yaitu Dini menggunakan bahasa sehari-hari dan ceritanya cukup menarik. Suasana yang terdapat dalam novel, dapat dirasakan oleh pembaca. Kelemahan novel Padang Ilalang di Belakang rumah yaitu banyak kata yang bertele-tele sehingga pembaca merasa sedikit bosan, dan ada beberapa  kata yang sulit dimengerti
4.      Kesimpulan

                        Novel ini layak dibaca oleh semua kalangan karena menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan cerita yang menarik. Novel ini juga menceritakan bagaimana susahnya hidup di saat masa-masa penjajahan. Cerita yang disajikan banyak memberikan pelajaran bagaimana arti saudara, arti kebersamaan dan kerukunan. Banyak teladan yang dapat diambil ketika membaca novel ini, seperti usaha  ibu untuk mempertahankan hidup keluargannya dan ayah yang berusaha melindungi keluarganya ketika terjadi perang.

Rabu, 12 Oktober 2016

Teladan Hidup Gus Dur


Teladan Hidup Gus Dur
Abdurrahman Addakhil lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Nama Abdurrahman Addakhil berarti “Sang Penakluk”. Nama beliau diganti menjadi Abdurrahman Wahid yang kerap disapa “Gus Dur”, Gus berarti mas atau abang. Gus Dur, anak pertama dari enam bersaudara. Beliau memiliki seorang kakek yang bernama KH Hasyim Asyari, seorang ulama terkemuka dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia. Saudara Gus Dur  yang lain bernama Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak perempuan yang bernama Alissa Qotruunada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Pendidikan Gus Dur
Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.Pada tahun 1954, pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, tetapi pada saat itu tidak naik kelas. Lalu, ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan. Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959, ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikannya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru di sekolah Madrasah.
Dalam kesehariannya, Gus Dur gemar membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu,  ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur  akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, Gus Dur juga senang  bermain bola, catur dan musik.

Karir dan Pekerjaan
Gus Dur , seorang tokoh bangsa yang berjuang melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang menyerang, Gus Dur menentangnya dengan berani. Beliau  menentang semua masalah yang mengatasnamakan agama. Dia juga sosok pejuang yang tidak mengenal hambatan. Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Beliau mendapatkan penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratis di Indonesia. Dia juga sangat aktif dalam berorganisasi. Sejak masih kuliah, ia sudah terlibat dengan organisasi seperti Asosiasi Pelajar Indonesia dan aktif menulis di majalah yang diterbitkan asosiasi tersebut.

Gus Dur menjadi Presiden ke-4
Terpilihnya beliau menjadi seorang Presiden banyak orang menyatakan karena adanya “kecelakaan”. Namun , itulah kehendak Tuhan. Walaupun masa jabatan beliau cukup singkat,  tidak membuat beliau di lupakan oleh masyarakat. Keberanian yang beliau miliki, telah menjadi suatu catatan tersendiri bagi masyarakat. Dengan keterbatasan beliau secara fisik, beliau mampu menunjukkan kinerja yang cukup optimal bagi bangsa ini. Di antara keberanian yang beliau lakukan adalah memecat beberapa orang menteri yang di anggap tidak mampu bekerjasama dengan beliau untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Gus Dur mulai tanggal 20 Oktober 1999 dan berakhir pada 23 Juli 2001 yang kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Keteladanan Gus Dur
            Dalam diri Gus Dur, terdapat sifat yang jarang ditemui di kalangan masyarakat yakni tidak membeda-bedakan manusia. Tampak jelas ketika Gus Dur melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas. Beliau berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, Gus Dur juga menghapus diskriminasi dalam masyarakat. Kesederhanaan yang dimiliki Gus Dur juga menjadi suatu sifat yang patut diteladani dalam kehidupan bermasyarakat. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran. Gus Dur selalu mendorong tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dari manusia lain. Dia juga mengedepankan kesabaran dalam menjalani proses yang berat demi mencapai hasil yang baik.

Gelar yang Diterima Gus Dur
Gelar pertama yang diterima Gus Dur yaitu Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand pada tahun 2000. Di tahun yang sama, beliau juga mendapat banyak gelar yakni Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology di Bangkok; Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne di Paris; Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok; Doktor Kehormatan dari Universitas Twente di Belanda (2000); dan Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal di India. Pada tahun 2002, beliau mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai di Tokyo, Jepang. Setahun kemudian, Gus Dur juga mendapat banyak gelar yaitu Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas di Israel; Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk dan Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon di Korea Selatan.

Wafatnya Gus Dur

Gus Dur meninggal disebabkan oleh penyakit yang dideritanya sejak menjabat sebagai seorang presiden. Dia menderita serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Beliau juga menderita gangguan penglihatan sehingga dia memerlukan seseorang untuk membacakan isi surat dan bukunya. Sebelum wafat, beliau menjalani cuci darah rutin. Beliau tutup usia saat berusia 69 tahun. Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009 di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit tersebut. Beliau dimakamkan di Pemakaman Maqbarah.

sumber :  https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid
 profil.merdeka.com/indonesia/a/abdurrahman-wahid/