Judul : Padang Ilalang di Belakang
Rumah
Pengarang : NH. Dini
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Kepengarangan
NH.
Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah tamat SMA bagian
sastra (1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956), dan
terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960 bekerja
di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut
Ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta
dan Semarang. Karya-karya NH. Dini, yaitu Dua
Dunia (1956), Hati yang Damai
(1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris
( 1982), Segi dan Garis (1983), Orang – orang Trans (1984).
Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert
Gamus, La Peste; 1985).
Sinopsis
Novel Padang Ilalang di Belakang Rumah
Nama saya Dini. Saya merupakan anak
bungsu dari 5 bersaudara. Kakak-kakak saya bernama Heratih, Nugroho, dan
Maryam, dan yang terakhir bernama Teguh. Selain itu, kami juga memiliki pembantu yang bernama Simbok yang sudah
dianggap keluarga sendiri. Dia datang dari desa dibawa nenek pada saat ibu dan
ayah menikah. Anak Simbok adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai penjaga
balai pertemuan tempat ayah Dini menjadi anggota. Namanya Marjo, isterinya
Saijem. Kami biasa memanggil Kang Marjo dan Yu Saijem. Selain Simbok, pembantu
yang juga tinggal di rumah kami adalah seorang wanita muda dengan anak
perempuannya, sebayaku. Suami perempuan itu menghilang tak tahu kemana. Ayah
terpaksa menyetujui, meskipun berarti pengeluaran tambahan biaya lagi guna
sekolah anak pembantu itu. Saat penjajahan Jepang, Dini masih duduk di bangku
SD. Rumah orang tuaku cukup luas di
bagian depan dan belakang rumah. Pada masa itu, keluarga kami mengalami
kemunduran Oleh karena itu, orang tuaku harus bekerja lebih keras untuk menghidupi
keluarganya. Ibuku mulai membuat kue dan membatik. Halaman belakang rumah
digunakan untuk membuat kue dan membatik. Heratih yang pandai memasak dan
membatik, menyanggupi akan memberikan bantuan. Tak seorang pun di antara kami
dapat menahan tantangan untuk menenggelamkan jari telunjuk ke wadah adonan yang
begitu mengundang dan lalu menjilatnya. Kebiasaan Nugroho yaitu pada saat-saat
ibu atau Heratih memalingkan muka, dengan sekali pungut, diambilnya makanan
yang belum matang, cepat-cepat dimasukkan ke dalam mulut. Sedangkan Teguh lebih
suka kepada yang telah masak. Dia menolong menghitung kue kering tersebut,
memasukkannya ke kaleng. Ketika Ibu atau Heratih tidak melihat, dari lima buah
kue ditangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara keras. Maryam dan aku
sendiri boleh dikatakan tidak mengganggu. Kami membantu seperlunya, dan mencuri
adonan sebisanya pula. Maryam dapat mengerjakan semua dengan baik.
Di kampung kami, sering lewat
seorang laki-laki setengah umur bersarung dan berbaju rapi, yang membawa sebuah
kurungan kecil berisi burung gelatik. Dia adalah peramal dengan kartu. Pada
suatu hari ibu memanggilnya. Aku tidak tahu dari siapa datangnya gagasan
tersebut. barangkali seperti kebanyakan wanita, dia terdorong oleh keinginan
tahu akan hal-hal yang belum tentu, serba misteri, mencoba kekuatan gaib yang
tidak dapat diterangkan oleh akal. Orang itu membaca kartu mengenai nasib
Nugroho. Laki-laki setengah umur itu mengambil kartu tersebut, lalu
diperlihatkannya kepada Ibu. “Lambangnya adalah seekor banteng,” katanya
memulai ramalannya. Di antara kartu-kartu itu, kulihat sebuah gambar pohon
beringin, dengan seekor banteng yang terjepit di antara dahan di bawah.
Sore itu bibi datang bersama anaknya
yang pertama, Edi Sedyawati. Teguh mendapat tugas memetik buah blimbing. Di
sepen masih ada buah mangga gurih, sisa petikan dari hari-hari sebelumnya.
Kedondong tidak ada, musimnya baru mulai. Buahnya masih kecil-kecil, lagi pula
pohonnya besar dan tinggi. Hanya bapak atau Nugroho yang bisa memanjat hingga
jauh ke atas. Ibu sudah mengetahui
kebiasaan iparnya. Begitu datang, pembantu segera disuruh membuat sambal rujak.
Bibi sendiri telah berdiri di pendapa mengawasi Teguh memanjat pohon blimbing.
Ternyata pada saat turun, Nugroho terjepit di tengah dahan pohon blimbing. Kami
mengira bahwa ia hanya main-main. Tapi ternyata tidak. Akhirnya ayah
menolongnya dengan cara dipotong sedikit dahan blimbing tersebut agar Nugroho
dapat keluar. Sejak saat itu, Nugroho mendapat julukan “ banteng terjepit”.
Aku tidak pernah tidak naik kelas.
Ketika masa kesadaran semakin tumbuh, aku mulai mengerti sekelilingku dengan
lebih baik. Pada waktu itu aku diberi tahu, bahwa bicaraku lain dari kebanyakan
orang disebabkan karena ucapan “er” yang terputus getarannya. Ibulah yang
mengatakannya kepadaku.”kalau ada teman-temanmu di sekolah yang mengejek atau
memperolok-olok engkau, jangan malu. Kau boleh marah, itu hal yang biasa.
Karena kalau kau tidak marah, berarti kau tidak mempunyai rasa harga diri.”
Tapi di sekolah, hingga waktu itu tak seorang pun yang mengejek atau
memperolok-olokkanku. Ibu berkata “selama kau terkemuka dalam hidup ini,
ditambah dengan sikapmu sendiri yang sopan, ramah dan sederhana, orang lain
akan menghormati dan menyayangimu.
Pertama kali Edi kami undang
menonton wayang, dia kelihatan tidak mengerti apa-apa. Barangkali masih terlalu
kecil, di Jawa Timur dia tidak pernah dibawa mengunjungi pertunjukkan semacam
itu. Atau barangkali pula karena paman dan bibi tidak “sempat” berpikir bahwa
itu termasuk salah satu unsur pendidikan kebudayaan. Atau entah ada lagi
sebab-sebab lain yang menurut ayah tidak bisa kami terka. Berlainan dengan
kami. Paling sedikit, sekali sebulan orang tua membawa kami menonton wayang.
Kadang-kadang, sewaktu ada kunjungan kerabat dari kota lain, merekalah yang
membeli karcis. Di samping itu, pada waktu-waktu yang tidak tertentu, kami
pergi menyaksikan pertunjukkan wayang kulit. Seringkali di kampung-kampung
tetangga ada orang yang menanggapnya. Kalau tidak terlalu jauh, ayah menemani kami,
beramai-ramai bersepeda ke sana. Kadang-kadang pula, kerabat atau kenalanlah
yang menanggap wayang tersebut. Dalam hal itu, kami menerima undangan, menonton
semalam suntuk, karena mendapat tempat duduk yang semestinya. Setelah dua kali
melihat wayang orang, Edi menjadi penggemar yang tekun.
Bibi telah melahirkan. Selama dia
berada di rumah sakit, aku menemani Edi tinggal di Pendrikan. Kakak perempuan
bibi datang dari Malang untuk mengurus rumah tangga. Aku tidak menyukainya. Dia
keras sekali. Tak satu pun permainan anak-anak yang diizinkannya. Ini kotor,
itu berbahaya. Bicaranya bahasa Jawa yang terputus-putus, banyak diselingi oleh
kata-kata Belanda. Dia belum kawin. Kata Maryam, barangkali sebab itulah dia
bersifat begitu kaku. Aku tak begitu mengerti, tapi menyetujuinya. Setiap pagi
aku harus menyuapi Edi, karena dia makan lambat sekali. Aku menyukai sepupuku.
Tapi dalam hal makan, aku membencinya. Karena dia menambah pekerjaanku.
Sekolahnya dekat. Sedangkan sekolahku lebih jauh. Aku harus bergegas agar bisa
sampai di sana sebelum lonceng pertama berbunyi. Pulang siang, perutku sedih
karena lapar. Tapi sampai di rumah, sejak bibi melahirkan, kami mesti menunggu
hingga jam dua untuk makan bersama paman. Aku merana, bagaikan seorang anak
tiri. Edi kurang merasakan kelaparan itu, karena sekolahnya di Taman
Kanak-kanak hanya sampai jam sepuluh. Sejak tinggal di rumah sepupuku, aku jadi
mengerti dengan baik apa arti kelaparan. Pulang dari sekolah, aku berjalan
sambil mencari buah-buah asam yang jatuh dari pohon di sepanjang jalan yang
kulalui. Satu atau dua buah asam masak yang bisa kutemukan merupakan hadiah
yang luar biasa bagiku. Ketika bibi pulang dari klinik, kami merasa seperti
terlepas dari nasib buruk. Dia membawa sepupu kedua, seorang bayi perempuan
yang mendapat nama Suci Astutiwati. Tetapi selanjutnya, kami memanggilnya Asti.
Waktu itu dia tidak berbeda dari bayi lain yang pernah kulihat. Kecil mungil,
terbungkus oleh pakaian yang bagiku terlalu seragam: selalu popok dan baju.
Semua bayi yang kukenal berpakaian sama, sehingga tak ada yang membedakab yang
satu dari lainnya.
Aku dapat tinggal kembali bersama
orang tuaku. Rumah kami yang lindung, betapapun buruk dan tuanya, lebih ramah
dan akrab daripada gedung besar kediaman sepupuku. Kebun kami yang tidak
teratur, merupakan kawan yang setia dan dermawan, memberi berbagai buah segar,
menerima kami bermain di bawah naungan pohon-pohonnya yang penuh ranting dan
daunan. Aku juga menemukan kembali si jalak, kucing-kucingku, itik dan ayam yang
ribut yang justru menggambarkan suasana keluarga dan rumah tangga. Dan tentu
saja, padang ilalang yang meminggiri kali di belakang rumah kami.
Hari itu aku mengetahui bahwa
kakakku yang sulung mempunyai pacar. Berita yag kukira istimewa itu kukabarkan
kepada Maryam. Dengan tersenyum-senyum kakakku menjawab bahwa dia telah lama
mengetahuinya. Bakal ipar kami bernama Utono, mengepalai kantor telepon di
Kendal. Dia bersama orang tuanya telah
datang ke rumah kami untuk melamar. Beberapa waktu lagi kami akan ke Gajah, di dekat
Demak, untuk merayakan pertunangan mereka. Utono bisa memikat hati adik-adik
tunangannya. Terutama hatiku. Seakan-akan ia mengerti hawa alam merupakan
kecintaanku. Kedua orang kakak perempuanku dan ibu banyak membantu pekerjaan.
Kakak sulungku perlu menunjukkan kepada bakal mertuanya bahwa dia cekatan
mengerjakan urusan rumah tangga. Kakak-kakakku lelaki menghilang, diajak oleh
adik-adik bakal ipar kami. Utono menggunakan waktunya buat berkenalan lebih
baik dengan aku. Upacara pertunangan tidak begitu mengesankan di hatiku. Kami
anak-anak terdorong ke sana kemari. Ibu dan ayah terlalu sibuk, tidak
memikirkan aku. Maryam demikian pula, turut melayani tamu bersama adik Utono
dan gadis-gadis sebayanya. Setelah lewat pertunangannya, Utono sering datang ke
rumah kami. Menurut cerita kakakku di kemudian hari, Ibu amat keras dan kolot
dalam mendidik anak-anak perempuan. Heratih baru saja berkenalan dengan Utono.
Kedua orang muda itu merasa saling cocok. Utono datang berkunjung, dan oleh
kakakku diperkenalkan kepada orang tua kami.
Pulang dari sekolah, aku singgah di
rumah sepupukku. Asti sudah kelihatan senyumannya. Edi lebih mudah mengenali
huruf-huruf. Bibi telah pulih kekuatannya, meskipun selalu pucat. Dan kakaknya
telah pulang ke Malang. Aku diberi kesempatan menggendong dan momong Asti. Pada
waktu-waktu tertentu, menolong memberikan botol susu kepadanya. Bersama Edi,
kami berdua bermain kanak-kanakan, tetapi kali itu mempergunakan bayi
sungguh-sungguh. Bergantian kami mencicipi susunya, mencoba buburnya. Pada
waktu bibi berada di kamar lain, kami mencuri mengangkat bayi yang sedang tidur
di ranjangnya, kami gendong bergantian. Lalu cepat-cepat kami kembalikan.
Kadang-kadang dia terus tidur, tetapi ada kalanya terbangun. Dalam hal itu, dia tersenyum-senyum sambil menyuarakan
ocehan yang bisa keluar dari mulutnya. Kami berdua bahagia oleh karenanya. Dia
tidak menangis, sebab itu kami berkesimpulan bahwa Asti suka pada kami.
Saat terjadi pemberontakan yang
dilakukan oleh anak bangsa, suasana jadi menakutkan karena Jepang sering sekali
melakukan tembakan – tembakan. Banyak mayat yang tergeletak di jalan – jalan,
semua warga harus mematikan lampu pada malam hari dan harus menyerahkan harta
benda kepada Jepang. Orang tua Dini melarang anak – anaknya untuk keluar rumah
karena suasana pada saat itu sangat menakutkan. Hanya ayahnya bersama dengan
warga – warga yang lain yang keluar dan memberi informasi yang terjadi kepada
keluarga yang ada di rumah. Setelah beberapa hari, keadan mulai tenang kembali
dan ada kabar yang sangat menggembirakan yaitu Indonesia telah merdeka
Unsur
Intrinsik :
1. Tema
Tentang sebuah keluarga
yang sederhana di tengah kesusahan peperangan di negerinya melawan penjajah.
2. Alur
Alur
yang di gunakan dalam cerita novel cerita ini adalah alur maju. Dalam novel ini
menceritakan
bagaimana sebuah keluarga yang berada dalam tengah-tengah kondisi negaranya
melawan penjajah. Melewati berbagai rintangan yang di jalani bersama.
3. Penokohan:
Dini: gadis yang ceria, penurut dan cerdas. Watak
Dini terdapat pada kutipan “Aku tidak
pernah tidak naik kelas”.
Nugroho: Patuh terhadap orang tua, terkadang jahil
tetapi baik. Watak Nugroho terdapat pada kutipan “Ketika pada saat Ibu atau Heratih memalingkan muka, diambilnya makanan
yang belum matang, cepat-cepat
dimasukkan ke dalam mulut.
Ayah: Bijaksana, bertanggung jawab, suka menolong,
tidak pernah putus asa dan rela berkorban. Watak ayah terdapat di kutipan “Memang, Bapak selalu mempunyai gagasan yang
lain daripada yang lain”.
Ibu: Baik hati, penyayang, bijaksana dan pemurah.
Watak ibi terdapat pada kutipan “Begitu
bibi datang,pembantu segera disuruh membuat sambal rujak”
Heratih: Baik , suka menolong. Watak Heratih
terdapat pada kutipan “Heratih duduk di
atas amben mencampur adonan di dalam sebuah wadah besar dengan kedua tangannya”
Teguh: Jahil, lincah, sedikit nakal dan terkadang
jahil. Watak Teguh terdapat pada kutipan “Kalau
Ibu atau Heratih tidak melihat, dari
lima buah kue yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung sambil bersuara
keras, sisanya segera menghilang ke dalam saku celana pendeknya.”
Maryam: Penurut dan baik. Watak Maryam terdapat pada
kutipan “ Maryam dan aku sendiri boleh
dikatakan tidak mengganggu”
Edi: lucu, ceria dan pintar. Watak Edi terdapat pada
kutipan “Bergantian kami menjadi
tokoh yang kami jelmakan, lengkap dengan
suara gamelan dari mulut”
4. Latar
Latar tempat : Emperan toko Jamu di Kranggan tempat
ibu Bustaman berjualan, Depok.
Latar suasana : Keceriaan, kesedihan, ketakutan.
Latar waktu : Pagi, siang, dan malam
5. Alur
Alur
yang di gunakan dalam cerita ini adalah alur maju. Karena, dalam cerita memperkenalan
tokoh-tokoh dalam cerita kemudian di lanjutkan dengan masalah-masalah yang
mulai muncul.
6. Sudut Pandang
Sudut pandang orang pertama pelaku utama.
7.
Amanat
Amanat
dari novel ini yaitu “selama kau terkemuka dalam hidup ini, ditambah dengan
sikapmu sendiri yang sopan, ramah dan sederhana, orang lain akan menghormati
dan menyayangimu.
Unsur
Ekstrinsik:
Nilai
Religi : Dini diajarkan orang tuanya
untuk selalu berdoa dan rendah hati.
Nilai
Sosial : Hubungan keluarga Dini
dengan masyarakat sekitar
Nilai
Budaya : ketika kakak perempuan
Dini, Heratih menikah
Kelemahan
dan Kelebihan
Kelebihan dari novel Padang Ilalang di
Belakang Rumah yaitu Dini menggunakan bahasa sehari-hari dan ceritanya cukup
menarik. Ketegangan dan keceriaan dalam novel, dapat dirasakan oleh pembaca.
Kelemahan novel Padang Ilalang di Belakang rumah yaitu banyak kata yang
bertele-tele, penjelasan yang terlalu panjang sehingga pembaca merasa sedikit
bosan, dan ada beberapa kata yang sulit
dimengerti
Kesimpulan
Novel ini layak dibaca oleh semua
kalangan karena menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan cerita yang menarik.
Novel ini juga menceritakan bagaimana susahnya hidup di saat masa-masa
penjajahan. Cerita yang disajikan banyak memberikan pelajaran bagaimana arti
saudara, arti kebersamaan dan kerukunan. Banyak teladan yang dapat diambil
ketika membaca novel ini, seperti usaha sang ibu untuk mempertahankan hidup keluargannya dan sang
ayah yang berusaha melindungi keluarganya ketika suasana perang yang
mengerikan.
Apakah novel ini cocok untuk dibaca oleh anak-anak ?
BalasHapus